Kota Pelangi yang Perlahan Memudar

Bab 1: Kota di Bawah Cahaya Biru

Di bawah permukaan laut yang tenang, lebih dalam dari tempat ombak pecah dan lebih sunyi dari dunia manusia, berdirilah sebuah kota yang tidak pernah digambar di peta. Kota itu bernama Kota Pelangi, sebuah kota karang yang hidup dari warna, cahaya, dan kebersamaan.

Kota Pelangi tidak memiliki jalan dari batu atau rumah dari kayu. Jalannya adalah celah-celah karang. Rumahnya adalah lengkungan dan lubang kecil tempat ikan beristirahat. Atapnya adalah bayangan cahaya matahari yang menembus air, bergetar lembut seperti tirai tipis.

Setiap pagi, ketika matahari mulai naik di dunia atas, Kota Pelangi terbangun. Ikan kecil berenang keluar dari tempat persembunyian. Kepiting membersihkan pasir di depan rumah karang. Rumput laut bergoyang pelan, menyapa siapa pun yang lewat.

Di kota ini, tidak ada yang benar-benar merasa sendirian.

Bab 2: Ikan Kecil yang Suka Mendengar

Di antara semua penghuni Kota Pelangi, ada seekor ikan kecil bernama Lumo. Tubuhnya ramping, warnanya biru keperakan, dan gerakannya tidak pernah tergesa-gesa.

Lumo bukan ikan yang paling berani. Ia juga bukan yang paling cepat. Tetapi Lumo punya kebiasaan yang jarang dimiliki ikan lain: ia suka mendengarkan.

Ia mendengarkan arus yang berubah arah. Ia mendengarkan karang tua yang berderak pelan ketika malam datang. Ia mendengarkan ikan-ikan yang lebih tua bercerita tentang masa lalu kota.

“Kenapa kamu selalu mendengarkan?” tanya sahabatnya, ikan bintang kecil bernama Tira.

“Karena laut selalu memberi tanda,” jawab Lumo. “Dan tanda itu pelan.”

Tira tidak sepenuhnya mengerti, tetapi ia tahu Lumo tidak pernah berbicara tanpa alasan.

Bab 3: Karang Nara, Penjaga Ingatan

Di tengah Kota Pelangi berdiri Karang Nara, karang tertua dan terbesar di kota itu. Cabangnya menjulur ke segala arah seperti tangan yang ingin melindungi.

Karang Nara sudah ada sejak sebelum ikan-ikan kecil mengenal warna. Ia menyimpan ingatan tentang badai besar, tentang musim yang panjang, dan tentang perubahan yang datang perlahan.

“Air hari ini terasa lebih hangat,” kata Karang Nara suatu pagi.

Lumo mendekat. “Hangat itu buruk?”

“Tidak selalu,” jawab Karang Nara. “Tapi hangat yang datang terlalu lama bisa melelahkan.”

Kata “lelah” membuat Lumo gelisah. Ia tidak pernah membayangkan kota karang bisa merasa lelah.

Bab 4: Hari-Hari yang Tidak Sama

Hari-hari berikutnya terasa berbeda. Bukan perubahan besar, tetapi perubahan kecil yang terus berulang.

Air terasa sedikit lebih hangat. Cahaya matahari menembus lebih tajam. Beberapa ikan kecil berenang lebih pelan dari biasanya.

“Kenapa aku cepat capek?” tanya seekor ikan muda.

“Mungkin kita perlu istirahat lebih lama,” jawab ikan lain.

Namun Lumo merasa ada yang lebih dari sekadar lelah biasa.

Ia berenang mengelilingi kota dan melihat sesuatu yang membuat dadanya sesak: beberapa karang mulai kehilangan warna.

Bab 5: Putih yang Tidak Berkilau

Suatu pagi, Lumo melihat Karang Nara berubah.

Cabang-cabang yang dulu merah muda dan oranye kini menjadi putih pucat. Bukan putih bersih, melainkan putih seperti pasir yang terlalu lama dijemur matahari.

“Karang Nara!” seru Lumo. “Kenapa warnamu pergi?”

Karang Nara menjawab pelan, “Sahabat kecilku pergi, Lumo.”

“Sahabat?” tanya Lumo.

“Mereka hidup di dalam tubuhku,” kata Karang Nara. “Mereka memberiku warna dan tenaga. Air yang terlalu hangat membuat mereka pergi.”

Lumo terdiam. Ia tidak tahu bahwa karang juga bergantung pada makhluk lain untuk bertahan hidup.

Bab 6: Kota yang Mulai Sunyi

Pemutihan tidak berhenti pada Karang Nara. Perlahan, karang lain juga memudar.

Gang-gang yang dulu ramai kini sepi. Tempat persembunyian menghilang. Ikan kecil tidak lagi menemukan celah aman.

Beberapa keluarga ikan memutuskan pergi. Mereka berenang jauh, mencari rumah baru.

“Apa kita juga harus pergi?” tanya Tira dengan suara gemetar.

Lumo tidak langsung menjawab. Ia menatap kota yang membesarkannya.

“Aku ingin bertahan,” katanya akhirnya. “Setidaknya mencoba.”

Bab 7: Dewan Laut Pertama

Karang Nara memanggil semua penghuni yang tersisa. Mereka berkumpul di tengah kota.

“Kota kita sedang sakit,” kata Karang Nara. “Kita tidak boleh saling menyalahkan.”

“Apa yang bisa kita lakukan?” tanya seekor kepiting tua.

“Menjaga yang masih hidup,” jawab Karang Nara. “Dan tidak membuat luka baru.”

Lumo mengangkat siripnya. “Kita bisa menjaga karang yang masih berwarna. Jangan menggores. Jangan merusak.”

Semua mengangguk. Itu hal kecil, tetapi penting.

Bab 8: Dunia Atas yang Panas

Lumo sering berenang ke dekat permukaan. Di sana, laut terasa berbeda. Lebih terang. Lebih panas.

Ia melihat bayangan perahu. Ia melihat benda-benda asing mengapung. Ia melihat manusia menyelam dengan pakaian aneh.

Suatu hari, Lumo melihat seorang manusia berhenti lama di depan Kota Pelangi. Manusia itu tidak menyentuh apa pun. Ia hanya melihat, mencatat, dan berenang pelan.

“Mungkin dia mendengar,” bisik Lumo pada Tira.

Bab 9: Anak Manusia dan Catatan Biru

Di dunia atas, ada seorang anak manusia bernama Naya. Naya ikut orang tuanya yang bekerja meneliti laut.

Naya melihat karang putih dan bertanya, “Kenapa mereka sedih?”

Ibunya menjawab, “Karena laut terlalu panas untuk mereka.”

Naya menulis di buku kecilnya: karang juga bisa lelah.

Ia menggambar ikan kecil yang berenang di kota karang yang memudar.

Bab 10: Harapan Kecil dari Karang Muda

Beberapa bulan berlalu. Tidak semua bagian Kota Pelangi bertahan. Ada yang runtuh, ada yang kosong.

Namun di sudut tertentu, Lumo melihat sesuatu yang kecil tetapi penting: karang muda mulai tumbuh.

Warnanya masih pucat, tetapi hidup.

“Kita masih punya kesempatan,” kata Lumo pada Tira.

Tira tersenyum kecil.

Bab 11: Penjaga Baru Kota Pelangi

Lumo tumbuh menjadi ikan dewasa. Ia tidak meninggalkan kota.

Ia menjadi penjaga, mengingatkan ikan muda untuk berenang hati-hati. Ia menceritakan kisah Karang Nara, tentang sahabat kecil yang memberi warna.

Karang Nara masih ada, meski lebih pucat. Ia bangga pada Lumo.

“Kamu mendengarkan,” kata Karang Nara. “Itu yang membuatmu kuat.”

Bab 12: Kota yang Tidak Menyerah

Tahun demi tahun berlalu. Kota Pelangi tidak kembali seperti dulu, tetapi juga tidak menghilang.

Manusia di atas mulai melindungi area laut. Mereka menanam karang kecil. Mereka belajar mendengar.

Naya tumbuh lebih besar, tetapi ia masih menyimpan gambar Kota Pelangi.

Di bawah laut, Lumo berenang pelan di antara karang muda.

Ia tahu satu hal pasti:
selama masih ada yang menjaga,
selama masih ada yang mendengar,
rumah tidak akan benar-benar hilang.


Pesan Moral

Perubahan besar sering dimulai dari tanda kecil.
Kalau kita mau mendengar lebih awal,
kita bisa menjaga lebih lama.

Rumah bukan hanya milik satu makhluk,
tetapi milik semua yang hidup di dalamnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share via
Copy link